Wahyu MH

BUKU ADALAH KARTU NAMA TERBAIK...

Selengkapnya
Navigasi Web

ZONASI DAN DONASI

Saya masih ingat. Dulu ketika konversi dari minyak tanah ke Bahan Bakar Gas. Yang kemudian lebih dikenal dengan elpiji. Hendak diterapkan, semuanya pada gaduh. Timbul pro kontra di masyarakat. Sosialisasipun dilakukan secara simultan.

Meski dalam tataran teoritis konversi ini sangat baik dan bermanfaat, namun dalam prakteknya banyak menyisakan masalah. Mulai dari stok tabung gas yang tidak merata, hingga sosialisasi yang belum paripurna. Banyak yang belum paham tata cara pemasangannya.

Dampaknya banyak tabung yang ‘’meledug” membakar dan menghanguskan rumah. Kerugian harta benda hingga korban jiwa tak terelakan. Perlu waktu beberapa bulan, hingga semuanya berjalan dengan lancar seperti sekarang ini.

Begitu juga kala Ignatius Jonan hendak merevitalisasi Perusahaan Kereta Api Indonesia (KAI), saat itu ia menjadi Dirutnya. Berusaha sekuat tenaga membenahi infrastruktur baik dari kualitas lokomotifnya, maupun dari sarana dan prasarana pendukungnya. Pro kontra dimana-mana. Pengggusuran lahan di sekitar area jalan kereta api tidak terelakan. Yang merasa dirugikan melakukan demo. Hingga akhirnya semua berjalan dengan baik. Dan perusahaan ini bisa tertib seperti sekarang ini. Setelah selama bertahun-tahun selalu rugi. Kini PT KAI bisa tersenyum dengan meraup laba sekitar 19 T (tahun 2018). dibanding BUMN yang lain. PT KAI merupakan yang stabil performanya.

Memang benar ketika sebuah kebijakan baru akan diterapkan biasanya akan banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat yang mempunyai kepentingan. Hal ini bisa dimengerti, karena akan bersentuhan dengan isyu yang sensitive, yaitu terganggunya sumber mata air mereka. Mata pencahariannya.

Hari hari ini, kita ribu bicara zonasi sekolah. Ada yang mendukung dan ada juga yang menolak secara terang-terangan. Di Jawa Timur penerimaan siswa baru berbasis zonasi di hentikan sementara. Karena adanya demo keberatan dari orang tua siswa yang merasa dirugikan dengan sistem ini.

Mengingat ini kebijakan yang baru, banyak persoalan di lapangan yang belum menemukan titik temu. Ini sangat wajar. Banyak orang tua wali yang belum memahami sitem ini secara integral. Yang terpikir oleh mereka adalah bagaimana anak anaknya bisa sekolah di tempat yang diinginkan. Biasanya di sekolah favorit yang memang sudah dikenal sebelumnya.

Kendala di lapangan direspone dengan cepat oleh pemerintah. Lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan rencana melakukan perbaikan. Salah satunya akan merevisi Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 dimana kuota siswa yang diterima lewat jalur zonasi dari minimal 90 persen dari daya tampung sekolah menjadi minimal 80 persen. Sedangkan Kuota pada jalur prestasi juga ditambah dari 5 persen menjadi 15 persen.

Wacana untuk menerapkan system zonasi sebenarnya sudah lama di gagas. Setidaknya sejak tahun 2016. System zonasi terinspirasi dari negara negara maju seperti Amerika, Australia, Jepang, Jerman, Malaysia dan Negara Scandinavia. Dengan sistem zonasi ini, Pendidikan di negara-negara tersebut mengalami kemajuan yang pesat dan merata.

Permasalahan yang di hadapi negeri tersebut juga pada awalnya sama. Terkait dengan ketersediaan infrastruktur dan pemerataan kualifikasi guru. Perlahan tapi pasti semuanya di perbaiki. Hingga akhirnya berjalan dengan baik.

"Jadi kalau dibilang sebaiknya menunggu semua infrastruktur sudah baik secara merata, ya tidak perlu ada zonasi. Justru sistem zonasi ini diterapkan untuk mengoreksi dan mengejar ketimpangan secara radikal,"Ujar Pak Menteri Muhajir menegaskan. “System ini jangan sampai gagal. Biarkan berjalan dengan segala permasalahan yang ada. Segala kekurangan di sana-sini akan menjadi catatan untuk perbaikan” Tandasnya lagi dalam suatu kesempatan.

Dari pengalaman beberapa kawan-kawan yang memasukan anaknya ke sekolah tahun ini. Banyak hal unik. Banyak kejutan. Kini banyak sekolah yang sudah bertahun-tahun. Bahkan sejak berdirinya sekolah tersebut. Hanya menampung beberapa peserta didik saja. Karena dianggap sekolah biasa, tidak ada prestasi yang membanggakan. Tiba-tiba kini kebanjiran siswa. Semua kelas penuh. Hiruk pikuk. Entah perasaan apa yang ada dalam benak para dewan guru di sana. Antara gembira dan khawatir bercampur aduk.

Gembira karena banyak siswa. Akan banyak peluang dan harapan untuk masa depan sekolah mereka. Tapi juga Khawatir karena akan menambah beban pekerjaan. Waktu akan tersita. Tidak bisa lagi berleha-leha mencari penghasilan tambahan dengan usaha sampingan. Jadi tukang ojek. Bisnis ini bisnis itu. Belum lagi jika kalau peserta didiknya anak-anak yang cerdas. Karena dampak zonasi ia harus sekolah di sekolah terdekat yang masuk wilayah zonasinya. Guru harus banyak belajar lagi.

Saya yakin pada akhirnya masalah zonasi sekolah ini akan berakhir dengan happy ending. Tapi persoalan klasik masih akan tetap ada. Yang jadi momok yang menakutkan bagi orang tua/wali murid. Apalagi kalau bukan donasi atas nama sumbangan suka rela. Siswa wajib membeli seragam dan atribut yang sudah disiapkan sekolah. Biaya ini, biaya itu. Meski biaya sekolah pemerintah itu sebenarnya ringan bahkan gratis. Bahkan pemerintah mengucurkan dana BOS setiap tahun. Tapi faktanya banyak donasi yang diminta secara terselubung. Saya tahu persis, karena saya mempunyai anak sekolah juga. Persoalan seperti inilah yang diberantas. Minimal, diminalisir keberadaannya.

Sentani, 16 Juli 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post